Oleh; Dr. Muhaemin, S.Sy., M.Sos
Sebagai agama yang diyakini oleh penganutnya shaalih likulli zamaanin wa makaanin, tentunya mendapat tantangan tersendiri untuk membuktikan adendum tersebut ketika bertemu dengan hal-hal yang baru, termasuk pendidikian berbasis humanists yang ramai dibicarakan hari ini. Untuk itulah kemudian, dalam tulisan ini penulis akan mengelaborasi seperti apa sisi humanistik pendidikan Islam, sebagaimana yang tercermin dalam surah an-Nahl ayat 125;
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Terjemahnya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Sebelum lebih jauh, Penulis ingin mengurai sedikit tentang sejarah pendidikan humanistik. Istilah humanistik sudah dikenal sejak 2000 tahun yang lalu oleh orang-orang Romawi. Tokohnya adalah Cicero (106-43 SM). Orang-orang Romawi menggunakan kata ini untuk mengekspresikan cita-cita mereka dalam mengusahakan perkembangan etis kultural dalam bentuk estetik sempurna, bersama dengan sikap baik hati dan kemanusiaan. Era ini bisa dikatakan merupakan tahap awal humanisme.
Tahap selanjutnya diperjuangkan pada masa Renaisans Eropa sebagai upaya manusia menggeser posisi Tuhan secara radikal, yang mana sejak berabad-abad lamanya dijadikan sebagai sumber kebaikan, kekuatan, tujuan dan penemuan, ekspresi artistik, hingga moral dan politik.[1] Lalu kemudian menjadikan manusia itu sendiri sebagai pusat kewajaran kehidupan (baca: antroposentris) karena dibekali dengan akal, yang dipandang mampu mengatasi segala macam problematika kehidupan. Diantara tokoh pada zaman ini adalah Trasmus dan Rotterdam (1466-1536).
Hingga datangnya abad modern, pendekatan ini telah mendapat tempat tersendiri di hati para ilmuwan Barat dengan berbagai latar belakang keilmuwan. Para ilmuwan humanis itu sendiri terbagi dua. Ada yang moderat ada pula yang anti agama. Yang moderat menjunjung tinggi keutamaan manusia, tapi tidak menafikan keberadaan agama. Sedangkan yang anti agama memandang bahwa agama bukanlah pemberi solusi atas segala problem yang menimpa manusia, melainkan sebaliknya.
Sesungguhnya, terdapat sikap pro dan kontra atas humanisme sebagai pendekatan dalam dunia pendidikan. Akan tetapi, terlepas dari itu, humanisme telah berhasil berkolaborasi, bahkan membaurkan diri kedalam berbagai aspek kebutuhan kehidupan manusia, salah satunya dengan pendidikan. Tahun 1970, merupakan tahun kelahiran teori pendidikan humanistik. Teori ini, sebagaimana dikatakan oleh George R. Knight, bertolak dari tiga teori filsafat, yaitu: pragmatisme, progresivisme, dan eksistensialisme.[2] Pragmatisme yang menekankan sistem demokratis dalam belajar, progresivisme menekankan pada aspek aktualisasi diri peserta didik agar kreatif, dan eksistensialime yang lebih menekankan aspek individualis dalam proses belajar. Dari ketiga konsep yang dipandang penting dalam proses pendidikan itulah sehingga dibentuk kemudian pendidikan humanistik untuk mengakomodir semuanya.
Sebagai salah satu agama samawi, Islam sangat menekankan orientasi keilahiyahan dalam setiap aspek kehidupan penganutnya, tidak terkecuali dengan pendidikan. Hal ini karena, esensi diciptakannya manusia dalam pandangan islam adalah untuk beribadah (QS. Adz-dzariyat: 56). Artinya, sedapat mungkin setiap aktifitas seorang muslim bernilai ibadah disisi Tuhannya.
Berbeda dengan orientasi pendidikan penganut agama lainnya yang menekankan pengembangan potensi semata. Sehingga implikasi dari perbedaan orientasi tersebut menyebabkan hasil yang berbeda pula. Islam, yang notabene selalu menyandarkan semuanya kepada Tuhan akan selalu merasa terawasi dengan ilmu yang dipelajarinya. Sehingga kemudian ilmu itu digunakan untuk kebaikan umat manusia, bukan malah menjadikannya alat pembodohan manusia seperti yang ramai kita saksikan hari ini.
Orientasi keilahiyan tersebut tercermin pada awal ayat di atas, ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ. Seruan “kejalan Tuhan” pada ayat tersebut seakan ingin mengatakan “jika kalian melakukan kegiatan pendidikan, perbaikilah niat terlebih dahulu, lalu kemudian arahkanlah peserta didik itu agar kiranya melalui ilmu yang diperolehnya digunakan untuk muqarabah kepada Tuhannya, baik dengan mentadabburi ciptaan-Nya, maupun dengan menggunakannya kepada hal-hal yang bermanfaat bagi orang banyak”.
Selanjutnya, setelah Tuhan menginformasikan prihal orientasi yang harusnya dimiliki oleh seorang pendidik dan peserta didik ketika melakukan kegiatan belajar mengajar, Tuhan lantas mengajarkan terkait metodenya, yaitu: Pertama ,بِالْحِكْمَةِ (dengan bijaksana). Dalam kamus besar bahasa Indonesia, bijaksana adalah arif, tajam pikiran, danselalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya) dalam bertindak (cetak miring merupakan tambahan dari penulis).
Adapun menurut al-Allamah Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, bahwa al-hikmah berarti pencegahan yang terangkum pada empat makna, yaitu; adil, hilm, ilmu, nubuwwah dan kitab. Adil berarti mencegah pelakunya dari berbuat kezhaliman, hilm yang berarti mencegah pelakunya dari larut dalam kemarahan, ilmu mencegah pelakunya terjerumus pada kejahilan, sedangkan nubuwwah dan kitab mencegah manusia dari perbuatan syirik, mungkar, dan perbuatan buruk lainnya
Metode yang kedua dalam pendidikan yang diajarkan oleh Islam adalah وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ (nasehat/pelajaran yang baik). Selain seorang pendidik dituntut bijak dalam mengajar, dia juga dituntut mengajarkan hal-hal yang baik. Utamanya kepada peserta didik yang duduk dibangku sekolah dasar, dia harus digenjot dengan hal-hal yang baik. Seperti kata Imam Al-Gazali;
“anak-anak itu amanah bagi kedua orangtuanya. Hatinya ibarat permata berharga yang belum diukir dan terbentuk. Ia menerima setiap bentuk ukiran yang cenderung diarahkan kepadanya. Jika dibiasakan kepada hal-hal yang baik dan diajarkan kebaikan, maka dia akan tumbuh menjadi pribadi yang baik. Demikian pula sebaliknya, jika dia dibiasakan melakukan hal-hal yang buruk dan diajarkankeburukan, maka dia pun akan tumbuh menjadi pribadi yang buruk pula”
Selanjutnya, metode yang ketiga adalah وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ. Metode ketiga ini diterapkan ketika terjadi dialog antara pendidik dengan peserta didik. Sebagaimana yang diterangkan oleh Ibnu Katsir ketika menafsirkan potongan ayat ini bahwa, menurutnya, barangsiapa yang membutuhkan dialog dan tukar pikiran, maka hendaklah dilakukan dengan cara yang baik, lemah lembut, serta tutur kata yang baik, termasuk jika dialog itu terjadi antarpemeluk agama yang berbeda sebagaimana yang diperaktekkan oleh Musa dan Harun ketika berdialog dengan Fir’aun (QS. Thaha: 44).
Setelah ketiga metode di atas diaplikasikan dalam proses belajar mengajar oleh seorang pendidik, hal yang mesti dia fahami adalah dia tidak dibenarkan memaksa peserta didik memahami apa yang diajarkan, melainkan harus menyerahkan hasilnya kepada sang Maha Alim, yaitu Allah swt. Artinya, manusia sekalipun telah dibekali akal untuk berinovasi dalam mengelolah segalah macam kebutuhan hidupnya, namun dia dibatasi oleh kehendak yang lain, yaitu kehendak Sang Pencipta. Untuk itu kata Ibnu katsir, janganlah seorang pendidik bersedih hati dengan kesesatan (ketidakfahaman) sebagian atau semua dari peserta didiknya, karena hidayah (kefahaman) diberikan Tuhan kepada siapa yang menurut-Nya pantas menerimanya. Sedangkan kewajiban seorang pendidik hanyalah sebatas mengajar semaksimal kemampuannya.[3] Demikian kesimpulan Ibnu Katsir ketika menafsirkan potongan ayat berikut إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ dari surah an-Nahl ayat 125.
Dengan keterangan yang terakhir ini, semakin nampaklah bagi kita betapa humanisnya metode pendidikan Islam. Islam memang memaksa penganutnya untuk senantiasa belajar. Dalam hadits dikatakan “tuntutlah ilmu sejak diayunan hingga keliang lahat”. Tapi itu bukan berarti Islam juga memaksa penganutnya untuk memahami apa yang dipelajarinya. Islam hanya menutut usaha, sedangkan hasil diserahkan kepada yang berkehendak. Karena pada dasarnya, dalam Islam manusia diyakini memiliki keterbatasan, termasuk keterbatasan dalam hal memahami suatu pelajaran. Sehingga dengan demikian manusia harus dimanusiakan dalam segala aspek, termasuk dalam aspek pendidikan.
[1] Roger Scruto, “The Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thought”, terj. Ahmad Lintang Lazuardi, “Kamus Politik”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 423.
[2] George R. Knight, “Issues and Alternatives in Educational Philosophy” (Michigan: Andews University Press, 1982), h. 82.
[3] Abdullah bin Muhammad, Lubabut Tafsir Min Ibni Katsir, (Jakarta : Yayasan Mitra Netra, 2019), h. 121
Tinggalkan Komentar